SKM Bukan Susu

Sekian lamanya kita dibodohi dan dicekoki oleh iklan televisi yang menayangkan tentang kebaikan dan kegunaan SKM alias Susu Kental Manis sebagai susu yang aman dikonsumsi oleh anak-anak. Padahal ya, produk SKM itu mengandung gula 54% loh dan sisanya bahan-bahan lain. Susunya hanya beberapa persen saja.


Memang susah untuk mengubah pola pikir dan persepsi masyarakat, namun perlahan kesalahan persepsi itu mulai terbuka dan fakta bahwa produk yang diklaim sebagai susu oleh produsen tapi ternyata kandungan gulanya jauh lebih tinggi dari kandungan protein mulai diketahui publik.


Salah satunya bermula dari temuan balita menderita gizi buruk akibat mengkonsumsi susu kental manis di Kendari dan Batam, hingga salah satunya meninggal dunia.

Miris banget baca beritanya, padahal ya negara kita tuh kaya, tapi masih banyak penduduknya yang berada dibawah garis kemiskinan. Hingga mereka berpikir agar dengan mengkonsumsi SKM bisa memenuhi kebutuhan gizi mereka, terutama anak-anak.

Saat ini pemerintah memiliki target menurunkan angka stunting menjadi 19%. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga 2024.

Untuk mencapai target tersebut, berbagai upaya intensif dan serius dilakukan oleh pemerintah, seperti fokus penurunan stunting di 100 daerah dengan prevalensi stunting tinggi, di Jawa dan luar Jawa.


Menurunkan angka stunting tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah saja. Diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah pusat hingga daerah, akademisi, tenaga kesehatan, masyarakat, organisasi profesi bahkan produsen makanan dan minuman. Sebab, produk makanan yang dijual oleh produsen ikut menentukan pola konsumsi masyarakat.

Terkait dengan target pencapaian stunting tersebut, dalam rangka Hari Gizi Nasional 2020, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menyelenggrakan seminar nasional yang akan dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2020 lalu.

Dengan mengambil tema Peluang dan Tantangan Di Bidang Kesehatan Dalam Meraih Bonus Demografi 2045 seminar tersebut dilakukan di Aula Gedung A Kemendikbud, Lantai 3. Jalan Jenderal Sudirman,  Senayan Jakarta Pusat. 

Seminar yang dimoderatori oleh Kang Maman tersebut, menghadirkan para narasumber, yaitu:

1. Intan Fitriana Fauzi, SH.LLM, Komisi IX DPR RI
2. Dr. Kirana Pritasari MQIH, Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes  RI
3. Dra. Chairunnisa M.Kes, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah
4. Arif Hidayat, SE.MM, Ketua Harian YAICI.


Dalam kesempatannya, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemkes Dr. Kirana Pritasari MQIH mengatakan trend status gizi, prevalensi stunting dan gizi buruk menurun. Tapi angka ini masih di atas toleransi WHO. Toleransi WHO untuk gizi buruk adalah 10% dan stunting 20%. Sementara kita masih 30%, di atas toleransi. Ini yang mengakibatkan penyelesaian masalah gizi jadi masalah nasional. Jadi jika misalnya balita kita 22 juta, kalau yang stunting 30,8 %, jumlah itu lebih besar dari penduduk Singapura.

Saat ini pemerintah sendiri telah menyiapkan 5 strategi dalam menurunkan dan mencegah stunting. Targetnya adalah pada 2024 stunting turun menjadi 14%, salah satunya melalui prioritas penanganan stunting yang dilakukan terhadap 260 kab/ kota.

Selain itu, kampanye dan edukasi kesehatan dan gizi untuk masyarakat pun perlu untuk dilakukan, sebagaimana edukasi gizi dan bijak konsumsi susu kental manis yang dilakukan oleh PP Aisyiyah.

"Susu kental manis itu adalah perasa, bukan susu. Balita tidak boleh mengkonsumsi sebagai minuman sebelum tidur, jadi bukan untuk kebutuhan pemenuhan gizi," jelas Kirana

Anggota komisi IX DPR RI, Intan Fauzi, SH.LLM dalam kesempatan itu juga menyampaikan pentingnya peran edukasi dan sosialisai kesehatan untuk masyarakat. Terkait persoalan susu kental manis misalnya, edukasi langsung ke masyarakat perlu terus menerus dilakukan.

“Sekarang sudah jelas ada regulasinya, sehingga produsen hingga distributor wajib menerapkan. Nah konsumen juga seharusnya sudah dapat memilah bahwa susu kental manis itu bukan termasuk kategori susu, jelas Intan.


Agar regulasi tersebut diterapkan dengan baik, fungsi pengawasan juga harus dioptimalkan. Kami selalu melakukan rapat kerja dan rapat kerja terbatas. Dari situ apabila ada permasalahan jadi pembahasan. Mengenai peredaran makanan akan menjadi tanggung jawab BPOM, kan ada divisi penindakan, imbuh Intan.

Sementara YAICI menilai kampanye dan sosialisasi tersebut tidak merata di terima oleh masyarakat Indonesia. Keterbatasan media informasi hingga promosi produk makanan dan minuman dari produsen yang begitu masif mengakibatkan kampanye-kampanye kesehatan kurang bergaung. Seperti yang terjadi pada produk kental manis.


Ketua YAICI Arif Hidayat menjelaskan, produk kental manis nyaris seabad diiklankan sebagai minuman susu yang telah mengakibatkan kesalahan persepsi pada masyarakat, hingga membuat masyarakat beranggapan bila produk yang mengandung gula 54% tersebut dapat diberikan kepada bayi dan balita sebagai minuman susu.

Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan pada Oktober 2018, yang telah mengatur mengenai label dan iklannya. Sayangnya, pengawasan terhadap penerapan di lapangan masih belum optimal, ujar Arif Hidayat.

Arif menyebutkan, kampanye atau penjualan offline yang dilakukan oleh SPG produk kental manis serta penempatan produk di supermarket masih kerap dicampurkan dengan produk susu anak lainnya.


Hal-hal seperti ini yang perlu peran pengawasan dari masyarakat. Regulasinya sudah ada, namun sayang sekali penerapan di lapangan tidak tepat. Sehingga edukasi atau kampanye keseh i7atan yang digaungkan pemerintah juga akan rancu dimata masyarakat. Karena itulah kami meminta kesadaran produsen dan peran sertanya mengedukasi masyarakat dengan cara jujur dalam berjualan.

Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Chairunnisa, mengungkapkan kehkawatirannya akan bonus demografi apabila pemerintah masih abai terhadap persoalan kental manis.

Pemerintah seolah-olah hanya berkewajiban mengeluarkan regulasi, namun impelementasinya tidak efektif. Jangan sampai, akibat kelalaian hari ini, kita menghadapi bonus demografi yang menjadi beban bagi negara nanti, karena ancaman diabetes ataupun obesitas yang mengganggu usia produktif, jelas Chairunnisa.

Semoga saja masyarakat makin cerdas dan tidak lagi mengganggap bahwa produk SKM itu susu, padahal untuk memenuhi kebutuhan gizi tidak hanya dari susu, tapi banyak sumber makanan lainnya yang bisa memenuhi kebutuhan protein tersebut.

Komentar