Menuju Indonesia Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045

Masalah gizi buruk dan stunting masih menjadi PR berat buat bangsa Indonesia. Rasanya lucu untuk era modern seperti ini masih ada yang kurang gizi. Hehehe, tapi memang inilah kenyataan yang ada.

Permasalahan gizi, baik gizi buruk, termasuk stunting dan gizi lebih, terjadi hampir di seluruh strata ekonomi masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan.


Padahal investasi utama dalam membangun  sumber daya manusia Indonesia yang akan memberikan manfaat jangka panjang dan berkelanjutan adalah pembangunan kesehatan. Terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat terutama pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) merupakan salah satu komponen terpenting dalam pembangunan kesehatan.

Permasalahan gizi buruk bukan hanya tanggung jawab orang tua, di mana merupakan ujung tombak perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mulai 1000 hari pertama kehidupan, tapi juga merupakan tanggung jawab bersama mulai dari pemerintah, swasta, serta penyampaian edukasi pentingnya asupan gizi seimbang sangat penting dalam upaya menekan tingginya angka gizi buruk di Indonesia.


Tantangan utama dari gizi buruk dan stunting adalah penyebaran informasi dan edukasi karena masih banyak masyarakat kita yang kekurangan informasi tentang gizi seimbang. Kebanyakan masyarakat kita mengganggap makanan bergizi itu mahal.

Nah, dalam rangka memperingati Hari Gizi Nasional 2019, Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) pada tanggal 29 Januari 2019, mengadakan diskusi publik dengan tema “Menuju Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045” di Aula LBH Jakarta.


Diskusi ini dihadiri oleh para pembicara yang kompeten dibidangnya, antara lain, Ir. Doddy Izwardy, MA, Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Anisyah S.Si,Apt, MP, Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM, dan Arif Hidayat, SH.MH, Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) dengan moderator Kang Maman Suherman.

Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS), Arif Hidayat mengatakan, meskipun berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia, namun ancaman gizi buruk dan stunting akan terus menghantui anak-anak di Indonesia.


Hal itu disebabkan karena masih minimnya edukasi mengenai gizi. "Kalau kita datang langsung ke kampung-kampung yang aksesnya sulit dijangkau, mungkin kita akan menemukan lebih banyak lagi penderita gizi buruk. Hanya saja kita belum tahu," papar Arif.

Terkait edukasi, Arif menambahkan perlu adanya sinergi baik dari pemerintah,  swasta maupun lembaga-lembaga non pemerintah seperti LSM. Hal tersebut lah yang membuat KOPMAS hadir untuk turut serta membantu pemerintah untuk dalam  upaya mengurangi masalah gizi buruk dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya generasi muda saat ini.

"KOPMAS ingin bersama-sama pemerintah dan swasta serta NGO-NGO lainnya untuk terus melakukan edukasi pentingnya pemenuhan gizi seimbang kepada masyarakat. Ini adalah tanggungjawab kita bersama dan bukan sema-mata tanggung jawab pemerintah. Peran orang tua juga sangat penting dimana seorang ibu adalah kelompok kecil yang akan melakukan perubahan besar di rumahnya. Untuk itu, edukasi ini sangat penting," imbuh Arif.


Sedangkan Bapak Ir. Doddy Izwardy, MA, yang mewakili Kemenkes menjelaskan, bahwa berdasarkan data GNR, 2018 diketahui setiap negara di dunia memiliki masalah malnutrisi, termasuk di Indonesia.

Menurut laporan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) pada tahun 2035 Indonesia diproyeksikan mengalami puncak pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif.

Keadaan ini merupakan bonus demografi, jika kita berhasil membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan menjadikan bangsa yang berdaya saing tinggi di regional maupun global. Namun demikian, akan terjadi sebaliknya mengingat tingginya prevalensi balita stunting jika kita tidak melakukan intervensi saat ini juga.

Perlu diketahui, Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%.  Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.

Prevalensi tertinggi yaitu di NTT sebesar 33% (Riskesdas 2018). Sedangkan prevalensi terendah berada di Kepulauan Riau yaitu 15,6% (Riskesdas, 2018), namun prevalensi ini naik dibandingkan sebelumnya yaitu 13% (Riskesdas, 2013).

Prevalensi tertinggi yaitu di NTT sebesar 42,6% (Riskesdas 2018) sebelumnya menurut Riskesdas 2013 sebesar 51,7% berarti hamper separuh lebih balita mengalami stunting.

Sedangkan prevalensi terendah di DKI Jakarta yaitu 17,7% (Riskesdas, 2018) prevalensi ini turun dibandingkan temuan Riskesdas 2013 sebesar 27,5%.

Yang perlu menjadi perhatian adalah adanya tren peningkatan proporsi obesitas pada orang dewasa yang terdeteksi mulai tahun 2007, yaitu 10,5% (Riskesdas 2007), 14,8% (Riskesdas 2013) dan 21,8% (Riskesdas 2018).


Begitu kompleknya determinan penyebab masalah gizi. Penyebab langsung adalah kurangnya asupan/pangan/gizi dan kesehatan serta sulitnya akses pangan, pola asuh, air minum dan sanitasi.

Anak kurang gizi kronis atau stunting akan berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit (menderita penyakit degenerative saat dewasa), menurunkan produktivitas, dan ujungnya meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan.

Otak anak yang mengidap stunting akan terganggu pada area “synaps” (serabut saraf penghubung sel-sel otak), yang menyebabkan berkurangnya kecerdasan. Hasil survei mengatakan tingkat kecerdasan anak Indonesia tertinggal dari anak-anak Singapura, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Miris banget ya?


Sebetulnya pemerintah sudah menyadari pentingnya investasi gizi, hal ini diwujudkan dalam bentuk komitmen dan peraturan yang menjamin upaya percepatan perbaikan gizi menjadi bagian dari pembangunan di Indonesia.

Intervensi Perbaikan Gizi mengacu pada beberapa kebijakan terkait Percepatan Perbaikan Gizi, sebagai berikut :

• Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi:
    -  Penurunan stunting fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
    -  Pendekatan multisektor.

• Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Germas :
   a.  Aktivitas fisik
   b.  Konsumsi makanan sehat
   c.  Deteksi dini
   d.  Lingkungan sehat
   e.  Pendidikan kesehatan
    f.  Pola hidup sehat
       
• Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi :
   a)  Ketersediaan pangan
   b)  Keterjangkauan pangan
   c)  Pemanfaatan pangan
   d)  Perbaikan gizi masyarakat
   e)  Penguatan kelembagaan pangan dan gizi


Pemerintah menjadikan penurunan stunting sebagai salah satu prioritas nasional dengan menyusun kerangka penanganan stunting melalui konvergensi program di tingkat pusat hingga ke tingkat daerah.

Terkait dengan hal ini perlu menggiatkan peran UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) seperti Posyandu dan organisasi kemasyarakatan, antara lain PKK, Karang Taruna, organisasi keagamaan dalam rangka penurunan stunting.

Salah satu kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 adalah melaksanakan program strategis nasional yang telah ditetapkan oleh Presiden temasuk Stunting. Dalam mendukung penanggulangan stunting telah diterbitkan Perpres Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.


Pemberian Makan pada Bayi dan Anak (PMBA) sangat penting dalam pembangunan kesehatan. Pemberian ASI yang optimal sesuai standar emas PMBA yaitu:

  • 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu dimulai secepatnya segera setelah lahir. Dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara bayi dengan ibunya segera setelah lahir, berlangsung minimal satu jam.
  • 2) ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama, diberikan hanya ASI saja.
  • 3) Melanjutkan menyusui sampai usia 2 tahun atau lebih, disertai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang adekuat. 


Ibu Anisyah S,Si,Apt, MP Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM RI memaparkan tentang peran BPOM dalam pencegahan stunting. Beliau juga menanyakan tentang ketegasan BPOM terhadap SKM.

Yang menarik adalah soal air minum dan legalitas air kemasan isi ulang. Ya secara pan air minum bermerek mahalnya minta ampun, tapi beli air isi ulang juga serem, terus air sumur di rumah gak bagus. Ya semoga saja BPOM dan pemerintah punya jalan keluar untuk masalah air minum yang aman dan murah. Amin ..

Temuan KOPMAS

Salah satu lingkup kerja KOPMAS tak lain dan tak bukan adalah menerima pengaduan dari masyarakat akan adanya persoalan kesehatan anak, terutama masalah gizi buruk.

Berdasarkan pengaduan yang diterima KOPMAS pada periode Novembet - Desember 2018, maka KOPMAS melakukan peninjauan langsung ke sejumlah keluarga di Jawa Barat dan Banten sebanyak 12 keluarga dan 1 keluarga di Malang.


Dalam peninjauan tersebut, KOPMAS mendapat hasil temuan berupa kesulitan akses kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Sebanyak 12 anak terindikasi mengalami gizi buruk: 1 anak di Kabupaten Bandung, 4 anak di Kabupaten Bandung Barat, 4 anak di  Indramayu, 2 anak di Cirebon dan 1 anak di Malang.

Arif selaku ketua KOPMAS menyebutkan, dari kunjungan tersebut masih ditemukan orang tua yang memberikan susu kental manis (SKM) sebagai minuman bernutrisi. Padahal akibatnya, justru mereka kekurangan nutrisi bahkan terindikasi mengalami gizi buruk.

"Pemahaman yang salah di masyarakat kita hingga saat ini bahwa SKM adalah susu yang memiliki nutrisi tinggi bagi anak-anal terutama bayi padahal sudah kandungan gula pada SKM 50% adalah gula," papar Arif.


Diakhir diskusi Kang Maman menyempatkan untuk melakukan video call dengan Dede Macan Yusuf Efendi, Ketua Komisi IX DPR RI yang tidak sempat hadir guna mendapatkan statement tentang gizi buruk dan kurangnya tenaga ahli gizi di Indonesia.

Komentar