Berbicara tentang gender memang gak ada habisnya, topik sensitif ini selalu jadi pro dan kontra. Pembahasan tentang gender menempati peringkat ketiga setelah, agama, suku atau ras.
Konsep Gender sebenernya tidak hanya bicara tentang jenis kelamin saja, namun lebih luas lagi karena definisi Gender sangat beragam. Salah satu definisi Gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang kedudukannya diatur oleh nilai sosial budaya tempat laki-laki dan perempuan itu lahir. Atribut sosial inilah yang menjadi dasar pembagian kerja dan peran perempuan serta laki-laki di dalam masyarakat.
Di era globalisasi dan teknoligi makin canggih ini masih banyak masyarakat Indonesia yang kaku dalam memahami tentang isue gender. Di mana gender dipandang dari jenis kelamin. Memasak adalah tugas perempuan dan bekerja di luar rumah adalah tugas laki-laki. Kesetaraan gender, feminisme dan pendidikan seks masih dianggap sebagai pembahasan yang tabu dan tidak sepaham dengan budaya bangsa kita.
Beruntunglah saya karena bisa mengikuti lokalatih “Pelatihan SDM Media Elektronik dan Sosial tentang Jurnalisme Sensitif Gender” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA). Pelatihan ini diadakan dalam rangka mensosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dan lebih memahami tentang program Pengarusutamaan Gender (PUG).
Pelatihan dihadiri oleh 28 peserta yang merupakan para penggiat media elektronik dan media social, seperti media online, blog dan Instagram tersebut dilaksanakan di Hotel Salak the Heritage, Bogor, pada 4-5 Juni 2018.
Selama dua hari pelatihan para peserta dibekali materi oleh dua narasumber yaitu Ibu Sri Wahyuni dan Pak Budi, selesai itu para peserta juga diberi tugas untuk berdiskusi tentang issue perspektif Gender yang sedang beredar di masyarakat luas saat ini.
Ibu Sri Wahyuni pada pemaparan materinya menekankan betapa pentingnya isu kesetaraan gender. Sebelum lebih jauh berbicara tentang Gender, Ibu Sri mengajak para peserta untuk mengenali perbedaan definisi antara jenis kelamin dan gender, dua istilah yang sering kali membingungkan dan dianggap sama.
Jenis kelamin adalah seperangkat alat reproduksi dari individu yang menentukan kodratnya dan bersifat tidak dapat dipertukarkan. Jenis kelamin ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Sedangkan alat kelaminnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina sebagai salah satu alat reproduksinya.
Gender adalah seperangkat konstruksi sosial yang khas, yang mendefinisikan apa yang pantas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, yang bersifat dapat dipertukarkan. Gender merupakan seperangkat karakteristik dan peran yang disebut maskulinitas dan femininitas.
Sejak jaman dahulu kebebasan perempuan sering kali dibatasi dan kontribusinya diremehkan karena dianggap tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Padahal perlakuan tersebut sangat merugikan perempuan. Perempuan tidak bisa bebas bekerja di luar. Perempuan yang pulang malam selalu dicap tidak baik. Tugas domestik dalam rumah tangga adalah tugas perempuan. Perempuan tidak boleh jadi pemimpin. Perempuan masih dianggap sebagai objek seks atau pemuas nafsu saja.
• Gender merujuk pada cara berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki dibesarkan, diajari berprilaku, dan diharapkan oleh masyarakat sejak ia dilahirkan.
• Peran Gender: menciptakan peran yang dianggap pantas untuk perempuan dan laki-laki.
• Hubungan Gender: menciptakan hubungan perempuan dan laki-laki berdasarkan peran gendernya.
• Isue Gender: suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan atau ketimpangan antara perempuan dan laki-laki.
✓ Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender
✓ Pemahaman ajaran agama yang tidak komperhensif dan cenderung parsial
✓ Kelemahan, kurang percaya diri, tekad dan inkonsistensi kaum perempuan dalam memperjuangkan nasibnya
✓ Kekeliruan persepsi dan pemahaman para pengambil keputusan, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat terhadap arti dan makna kesetaraan dan keadilan gender.
Gender menjadi isu ketika menimbulkan diskriminasi yang terlihat dari situasi atau kondisi perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang.
Bentuk ketidakadilan Gender:
• Subordinasi
• Marginalisasi
• Beban ganda
• Kekerasan
• Stereotip atau pelabelan negatif
Ketidakadilan tersebut berdampak pada kesenjangan terhadap sumber daya pembangunan.
Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia baik rumah tangga, masyarakat maupun negara, melalui kebijakan dan program yang memperlihatkan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaa, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai kehidupan dan pembangunan.
Tujuan dari pengarusutamaan gender adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan. Hal tersebut sejalan dengan target dari lokalatih ini, yaitu:
° Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak
° Mengakhiri perdagangan manusia
° Mengakhiri kesenjangan ekonomi
° Mengakhiri ketertinggalan perempuan dalam politik
Ibu Sri juga membeberkan berbagai fakta tentang isu kesetaraan gender yang masih menemui banyak rintangan, padahal isu ini telah diperjuangkan di Indonesia selama 17 tahun.
Pada sesi kedua diisi oleh Pak Budi. Di setiap sesi, Pak Budi selalu membawa berbagai kejutan melalui games yang interaktif dan menarik. Pada awal sesi Pak Budi membagikan kertas yang harus diisi oleh para peserta secara bergiliran dengan jawaban dari pertanyaan yang diberikannya.
Tujuan dari game ini adalah agar para peserta mulai berani menyebutkan alat-alat reproduksi tanpa harus malu karena alat reproduksi merupakan bagian dari kodrat kita sebagai manusia. Menurut Pak Budi, keengganan masyarakat untuk menyebut kata penis dan vagina karena pendidikan seks di negara kita belum selesai, hal ini membuat banyak remaja yang mencari informasi melalui situs porno.
Selain itu Pak Budi juga menyoroti tentang bagaimana posisi perempuan di media mainstream. Banyak judul berita yang merujuk perempuan sebagai objek seksual yang pantas diperlukan tidak senonoh dengan sedemikian rupa. Seringkali pula sebuah judul berita berisi kata sifat yang konotasinya negatif dan vulgar.
Perempuan yang pulang malam belum tentu perempuan nakal yang pantas dilecehkan, karena mereka tidak tahu apa yang harus dia perjuangkan, dia kerjakan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini sering kali saya alami, dan sangat tidak nyaman.
Di luar isue gender ini yang lebih menyakitkan dan memprihatinkan sebenarnya adalah mengetahui dan menerima kenyataan bila perempuan adalah predator utama perempuan lain. Inilah yang membuat saya tidak percaya untuk curhat dan akrab dengan Gender sendiri. Upss maaf curhat.
Yang perlu dihindari dalam menulis berita:
✓ Menulis secara rinci kejadian perkosaan dalam berita kriminal terkait kejahatan seksual.
Atas nama fakta tidak relevan. Jurnalis tidak berada di tempat kejadian dan menulis hanya berdasarkan laporan polisi atau sumber sekunder.
✓ Merinci keadaan korban sebelum mengalami perkosaan.
Praktek penulisan seperti ini memberi kesan kejahatan yang terjadi didorong oleh korban sendiri. Ini mempertebal stereotipe bahwa perempuan itu penggoda dan sejenisnya.
Jadi ingat sebuah tulisan teman saya, Kennedy Jennifer Dhillon yang konsisten dalam membela hak perempuan.
"Bukan anak perempuan kita yang harus kita selematkan dan diajarkan cara berpakaian serta bersikap. Yang harus kita selamatkan adalah anak laki-laki kita dan mengajarkan mereka bagaimana bersikap menghargai perempuan. Karena ketika kita berhasil menyelamatkan anak laki-laki kita, maka anak perempuan digenerasi ini juga sudah pasti akan terselamatkan!"
Sering kali para orang tua fokus mengajarkan anak perempuan mereka tentang norma yang menindas kebebasan, mereka lupa untuk mendidik anak laki-laki untuk menghargai tubuh perempuan. Perempuan memiliki otoriras penuh atas tubuhnya, atas apa yang ingin dia lakukan, dan atas apa yang ingin ia kenakan.
Ketika perempuan mengatakan tidak, untuk anda sentuh, yang harus anda lakukan adalah stop it! And respect her!
Kutipan penutup yang manis dari Pak Budi ini mampu menyala pijaran yang sejak beberapa waktu meredup, karena telah merasakan ketidakadilan sebagai perempuan.
Diskusi yang dilakukan dengan cara gelosoran atau duduk bersama di lantai ini membuat para peserta jadi mengenal satu sama lain dan suasana jadi lebih cair dan akrab.
Di akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA) yang telah mengundang saya. Seneng banget karena mendapat banyak ilmu yang bermanfaat.
Selain itu saya ingin mengajak teman-teman untuk lebih bijak bermedia sosial, mengenal tentang Gender lebih baik, dan untuk teman-teman media semoga bisa lebih bijak dalam membuat judul, jangan hanya mengejar rating atau klik saja.
Konsep Gender sebenernya tidak hanya bicara tentang jenis kelamin saja, namun lebih luas lagi karena definisi Gender sangat beragam. Salah satu definisi Gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang kedudukannya diatur oleh nilai sosial budaya tempat laki-laki dan perempuan itu lahir. Atribut sosial inilah yang menjadi dasar pembagian kerja dan peran perempuan serta laki-laki di dalam masyarakat.
Di era globalisasi dan teknoligi makin canggih ini masih banyak masyarakat Indonesia yang kaku dalam memahami tentang isue gender. Di mana gender dipandang dari jenis kelamin. Memasak adalah tugas perempuan dan bekerja di luar rumah adalah tugas laki-laki. Kesetaraan gender, feminisme dan pendidikan seks masih dianggap sebagai pembahasan yang tabu dan tidak sepaham dengan budaya bangsa kita.
Beruntunglah saya karena bisa mengikuti lokalatih “Pelatihan SDM Media Elektronik dan Sosial tentang Jurnalisme Sensitif Gender” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA). Pelatihan ini diadakan dalam rangka mensosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dan lebih memahami tentang program Pengarusutamaan Gender (PUG).
Pelatihan dihadiri oleh 28 peserta yang merupakan para penggiat media elektronik dan media social, seperti media online, blog dan Instagram tersebut dilaksanakan di Hotel Salak the Heritage, Bogor, pada 4-5 Juni 2018.
Selama dua hari pelatihan para peserta dibekali materi oleh dua narasumber yaitu Ibu Sri Wahyuni dan Pak Budi, selesai itu para peserta juga diberi tugas untuk berdiskusi tentang issue perspektif Gender yang sedang beredar di masyarakat luas saat ini.
Ibu Sri Wahyuni pada pemaparan materinya menekankan betapa pentingnya isu kesetaraan gender. Sebelum lebih jauh berbicara tentang Gender, Ibu Sri mengajak para peserta untuk mengenali perbedaan definisi antara jenis kelamin dan gender, dua istilah yang sering kali membingungkan dan dianggap sama.
Jenis kelamin adalah seperangkat alat reproduksi dari individu yang menentukan kodratnya dan bersifat tidak dapat dipertukarkan. Jenis kelamin ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Sedangkan alat kelaminnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina sebagai salah satu alat reproduksinya.
Gender adalah seperangkat konstruksi sosial yang khas, yang mendefinisikan apa yang pantas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, yang bersifat dapat dipertukarkan. Gender merupakan seperangkat karakteristik dan peran yang disebut maskulinitas dan femininitas.
Sejak jaman dahulu kebebasan perempuan sering kali dibatasi dan kontribusinya diremehkan karena dianggap tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Padahal perlakuan tersebut sangat merugikan perempuan. Perempuan tidak bisa bebas bekerja di luar. Perempuan yang pulang malam selalu dicap tidak baik. Tugas domestik dalam rumah tangga adalah tugas perempuan. Perempuan tidak boleh jadi pemimpin. Perempuan masih dianggap sebagai objek seks atau pemuas nafsu saja.
• Gender merujuk pada cara berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki dibesarkan, diajari berprilaku, dan diharapkan oleh masyarakat sejak ia dilahirkan.
• Peran Gender: menciptakan peran yang dianggap pantas untuk perempuan dan laki-laki.
• Hubungan Gender: menciptakan hubungan perempuan dan laki-laki berdasarkan peran gendernya.
• Isue Gender: suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan atau ketimpangan antara perempuan dan laki-laki.
Penyebab terjadinya kesenjangan Gender:
✓ Nilai sosial budaya Patriarki✓ Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender
✓ Pemahaman ajaran agama yang tidak komperhensif dan cenderung parsial
✓ Kelemahan, kurang percaya diri, tekad dan inkonsistensi kaum perempuan dalam memperjuangkan nasibnya
✓ Kekeliruan persepsi dan pemahaman para pengambil keputusan, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat terhadap arti dan makna kesetaraan dan keadilan gender.
Gender menjadi isu ketika menimbulkan diskriminasi yang terlihat dari situasi atau kondisi perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang.
Bentuk ketidakadilan Gender:
• Subordinasi
• Marginalisasi
• Beban ganda
• Kekerasan
• Stereotip atau pelabelan negatif
Ketidakadilan tersebut berdampak pada kesenjangan terhadap sumber daya pembangunan.
Pengarusutamaan Gender (PUG)
Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia baik rumah tangga, masyarakat maupun negara, melalui kebijakan dan program yang memperlihatkan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaa, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai kehidupan dan pembangunan.
Tujuan dari pengarusutamaan gender adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan. Hal tersebut sejalan dengan target dari lokalatih ini, yaitu:
° Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak
° Mengakhiri perdagangan manusia
° Mengakhiri kesenjangan ekonomi
° Mengakhiri ketertinggalan perempuan dalam politik
Ibu Sri juga membeberkan berbagai fakta tentang isu kesetaraan gender yang masih menemui banyak rintangan, padahal isu ini telah diperjuangkan di Indonesia selama 17 tahun.
Pada sesi kedua diisi oleh Pak Budi. Di setiap sesi, Pak Budi selalu membawa berbagai kejutan melalui games yang interaktif dan menarik. Pada awal sesi Pak Budi membagikan kertas yang harus diisi oleh para peserta secara bergiliran dengan jawaban dari pertanyaan yang diberikannya.
Tujuan dari game ini adalah agar para peserta mulai berani menyebutkan alat-alat reproduksi tanpa harus malu karena alat reproduksi merupakan bagian dari kodrat kita sebagai manusia. Menurut Pak Budi, keengganan masyarakat untuk menyebut kata penis dan vagina karena pendidikan seks di negara kita belum selesai, hal ini membuat banyak remaja yang mencari informasi melalui situs porno.
Selain itu Pak Budi juga menyoroti tentang bagaimana posisi perempuan di media mainstream. Banyak judul berita yang merujuk perempuan sebagai objek seksual yang pantas diperlukan tidak senonoh dengan sedemikian rupa. Seringkali pula sebuah judul berita berisi kata sifat yang konotasinya negatif dan vulgar.
Perempuan yang pulang malam belum tentu perempuan nakal yang pantas dilecehkan, karena mereka tidak tahu apa yang harus dia perjuangkan, dia kerjakan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini sering kali saya alami, dan sangat tidak nyaman.
Di luar isue gender ini yang lebih menyakitkan dan memprihatinkan sebenarnya adalah mengetahui dan menerima kenyataan bila perempuan adalah predator utama perempuan lain. Inilah yang membuat saya tidak percaya untuk curhat dan akrab dengan Gender sendiri. Upss maaf curhat.
Yang perlu dihindari dalam menulis berita:
✓ Menulis secara rinci kejadian perkosaan dalam berita kriminal terkait kejahatan seksual.
Atas nama fakta tidak relevan. Jurnalis tidak berada di tempat kejadian dan menulis hanya berdasarkan laporan polisi atau sumber sekunder.
✓ Merinci keadaan korban sebelum mengalami perkosaan.
Praktek penulisan seperti ini memberi kesan kejahatan yang terjadi didorong oleh korban sendiri. Ini mempertebal stereotipe bahwa perempuan itu penggoda dan sejenisnya.
Jadi ingat sebuah tulisan teman saya, Kennedy Jennifer Dhillon yang konsisten dalam membela hak perempuan.
"Bukan anak perempuan kita yang harus kita selematkan dan diajarkan cara berpakaian serta bersikap. Yang harus kita selamatkan adalah anak laki-laki kita dan mengajarkan mereka bagaimana bersikap menghargai perempuan. Karena ketika kita berhasil menyelamatkan anak laki-laki kita, maka anak perempuan digenerasi ini juga sudah pasti akan terselamatkan!"
Sering kali para orang tua fokus mengajarkan anak perempuan mereka tentang norma yang menindas kebebasan, mereka lupa untuk mendidik anak laki-laki untuk menghargai tubuh perempuan. Perempuan memiliki otoriras penuh atas tubuhnya, atas apa yang ingin dia lakukan, dan atas apa yang ingin ia kenakan.
Ketika perempuan mengatakan tidak, untuk anda sentuh, yang harus anda lakukan adalah stop it! And respect her!
“Lebih baik menyalakan satu lilin, daripada mengutuk kegelapan.”
Kutipan penutup yang manis dari Pak Budi ini mampu menyala pijaran yang sejak beberapa waktu meredup, karena telah merasakan ketidakadilan sebagai perempuan.
Diskusi yang dilakukan dengan cara gelosoran atau duduk bersama di lantai ini membuat para peserta jadi mengenal satu sama lain dan suasana jadi lebih cair dan akrab.
Di akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA) yang telah mengundang saya. Seneng banget karena mendapat banyak ilmu yang bermanfaat.
Selain itu saya ingin mengajak teman-teman untuk lebih bijak bermedia sosial, mengenal tentang Gender lebih baik, dan untuk teman-teman media semoga bisa lebih bijak dalam membuat judul, jangan hanya mengejar rating atau klik saja.
Komentar
Posting Komentar