Rembulan Dan Secangkir Kopi


Malam telah larut, saat hujan turun di mataku. Namun langit tetap terlihat cerah, meski tanpa bintang. Angin bertiup lembut sibakkan mega tampilkan senyum indah sang rembulan. Tanpa terasa tiga senja telah berlalu, dari janjimu untuk bertemu di sini. Masih kuingat pesan singkatmu kala itu.

“Aku tunggu di tempat biasa, jangan terlambat."

Walau hanya sebait kata sederhana, tak urung melambungkan anganku. Setitik bahagia menyelimuti, aku percaya janjimu. Ini yang kutunggu, kau akan datang menemuiku kembali di sini. Sama seperti dulu. Berjumpa di tempat biasa, lalu kita akan menghabiskan malam berdua, ditemani secangkir kopi dan senyum sang rembulan jingga. Berjalan bergandengan tangan sepanjang pantai, tempat di mana pertama kita bertemu. Berbaring bersisian di pasir dingin, menatap langit yang sama.

“Bulan terlihat sangat indah malam ini,” ucapku memecah sunyi.

“Seperti cinta,” jawabmu singkat.

“Ya, seperti cinta,” timpalku seraya tersenyum simpul.

“Coba tutup mata dan jangan bicara,” pintamu sambil melakukan hal yang sama.

Perlahan kupejamkan mata mengikuti permintaanmu, membiarkan kesunyian menyelimuti diri.

“Cukup rasakan cinta yang kita punya, jangan bicara, kata-kata hanya akan buat kita semakin merana,” lanjutmu.

Kukatupkan kembali mulutku, dan menelan kata-kata yang hendak kuucapkan. Hening malam kian mengigit. Menyisakan desiran ombak yang setia memagut bibir pantai yang dingin.

“Tapi aku ingin tahu dan butuh kepastian,” akhirnya aku tak tahan juga untuk bersuara.

Sekilas wajahmu berubah sendu, menatap lurus sang rembulan di ujung cakrawala. Seiris sesal datang melanda.

“Maafkan aku, karena belum bisa memberimu kepastian cinta yang utuh,” jawabmu lirih.

Aku hanya bisa diam dan kembali menatap kelamnya malam yang kian meninggi. Mungkin inilah takdir cinta, aku takkan pernah bisa memiliki meski setengah mati mendambamu. Mimpiku adalah pengulangan dari perjalan panjang tanpa ujung. Serupa laut dan langit, terlihat bersentuhan namun nyatanya tidak. Yang ada hanya kekosongan hampa.

Saat memalingkan wajah, gerakanmu terlihat anggun, dadaku berdesiran halus, terbangkan kupu-kupu yang menggelitik perut. Namun sorot matamu tak bisa berdusta, selaksa duka tersirat jelas di sana. Persekian detik hanya mata yang mampu bicara. Kita sama-sama diam seraya menyelami beningnya lazuardi hati.

Akh … ingin rasanya kurengkuh engkau dalam pelukan, hangatkan sukmamu yang sepi, reguk air sumur jiwa lewat bibir manismu yang lembut. Seulas senyum mengembang di wajah letihmu. Kau membaca gundahku yang mengulana. Tautan jemari kita kian erat, seiring degup jantungku yang semakin kuat. Perlahan tanganmu mendaki tubuhku, lalu mendekapku erat. Teramat sangat erat, seolah kau takut kehilanganku. Dalam bisu paling kelu kita berpelukan, leburkan asa yang sekian lama terpendam dalam dada.

Semburat panas tubuh kita lelehkan beku yang mengunung. Cairkan kata-kata yang menggantung, alirkan bara dalam darah. Nadi kita denyutkan pesan yang tak perlu lagi diucapkan. Hatimu dan hatiku telah sama-sama tahu. Kejujuran tanpa suara yang tak menyiksakan ruang untuk dusta.

Aku tak dapat menahan isak yang tiba-tiba datang, kau pun ikut tersedu. Air mata kita jadi satu, bercampur dengan jejak asinnya air laut, suara tangisan kita kalahkan debur ombak yang memecah sunyi.

Saat dirimu beranjak untuk pulang, mataku tak lagi bertanya tentang rasamu, meski aku tahu saat ini kau pulang untuk dia. Karena kini aku telah mengetahui rahasia hati kita. Cinta itu adalah aku, cinta itu adalah engkau dan cinta itu adalah dia. Dan cintaku takkan pernah mati meski jasadku sudah. Ini bukanlah akhir atau pun perpisahan, bukan pula perjumpaan, melainkan sebuah kesadaran tentang rasa yang diam-diam tumbuh diantara kita, aku tahu engkau pun tahu, bahwa kita ada.

Yang mampu kulakukan hanya memandangi punggung dan bahu kekarmu. Menghirup sisa-sisa aroma khas tubuhmu yang melekat di udara, yang selalu membuatku gila karena rindu.
                                         
“Akankah kau kembali?” pertanyaan basi yang selalu kuulang saat kita berpisah.

Kau akan melempar senyum untuk menenangkanku. Lentik jemarimu menari menyusuri tulang pipi hingga ujung bibirku dan berakhir dengan sebuah kecupan lembut.

"Tunggu kabar dariku," bisikmu lirih.

Ya, aku hanya bisa menunggu dan menunggu tanpa mampu berbuat apa-apa. Kembali melewati saat-saat sepi dalam pelukan sunyi.

Dulu, kita dipertemukan oleh rasa kecewa imbas dari sebuah hubungan yang tak harmonis. Ironi memang, tapi inilah kenyataan. Sejak awal perjumpaan, aku bisa langung memahamimu, tahu yang kau mau meski tanpa kata. Jeratan pesonamu begitu kuat menarik dan menyeretku pada kumparan asa tanpa logika. Dan seiring waktu, tiba-tiba cinta itu datang, memenuhi rongga dada, buncahkan denyut nadi. Kau dan aku saling membutuhkan serta menginginkan, namun kita sama-sama belum siap untuk melangkah lebih jauh, terlebih untuk saling memiliki. Karena cinta kita masih harus diuji dan diperjuangkan.

Entah sampai kapan hubungan ini akan terus bertahan, kita sama-sama tidak tahu kita ini apa. Dan hanya waktu yang mampu menjawab semua itu.

"Sementara biarlah seperti ini," pintamu.

Sungguh menyakitkan. Bersama tak mungkin berpisah pun tak mampu. Sering kali rindu datang menyiksa saat berhari-hari tanpa kabar darimu. Akankah rindu dan saling membutuhkan membawamu kembali?

Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa kulakukan semua ini? Jawabnya hanya satu, mungkin ini sudah jalannya. Sejak awal pun aku tahu saat seperti ini akan tiba. Tapi tak bisa kujelaskan. Mungkin karena aku terlanjur jatuh sayang padamu, sama seperti aku menyayangi diriku sendiri. Mampukah kita berpisah dengan diri kita sendiri? Kurasa kau tahu rupa perasaanku. Hatiku tidak pernah bisa pergi darimu.

Aku memandangi rembulan yang kian menepi. Entah apa yang membuatmu terlambat kali ini. Tak satupun pesan kau kirimkan. Berulang kali kupandangi jalanan sepi arah biasa kau datang. Namun jalanan itu tetap kosong. Tapi tidak dengan harapanku, aku percaya kau akan datang.

Waktu seakan cepat berlalu, malam pun kian sunyi, aku harus beranjak pulang tuk melepas penat dan letih ini. Di bawah tatapan hangat sang rembulan bisu dan secangkir kopi basi yang tak sempat aku sentuh, angin pun turut setia bersiut, menemani penantian sepiku nan pilu. Berulang kali kuhela nafas panjang, berharap usir resah yang datang melanda. Aku percaya, ke dalam perasaan ini kau akan bermuara, kau akan datang dengan senyum mengembang di wajahmu. Karena kau tahu aku ada. Kita akan bertemu dan bersama lagi seperti dulu.

“Untukmu yang entah di mana, tak rindu kah engkau padaku atau kau lupa dengan janjimu? Hari ini aku pamit pulang sejenak, besok aku janji untuk kembali menunggumu di sini, aku percaya kau pasti akan datang, meski itu pun entah."

*Revisi dari mini cerpenku di buku Beneath the Same Moon vol 3 (kumpulan cerita mini terbitan Ellunar Publiser 2014)

Komentar